Terima kasih telah berkunjung di www.sikilang.blogspot.com

Posted by Ray Sikilang 0 komentar

Bendera hitam di sikilang

DESA Sikilang sedang berkabung. Pekan-pekan lalu malaikat maut seperti bergerak dari pintu ke pintu rumah penduduk di desa yang berlokasi di pesisir Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, itu. Belum selesai satu jenazah dilepas dari sebuah rumah, ratapan kematian bergema lagi dari rumah berikutnya. Ada kalanya lima jenazah dimakamkan dalam sehari. Total, sejak Februari hingga April, desa nelayan berpenduduk sekitar 1.500 jiwa itu sudah kehilangan 47 warga. Sementara itu, sampai akhir minggu kemarin, masih ada sekitar 40 anak-anak berusia di bawah 12 tahun yang berjuang melawan wabah yang tak mereka ketahui penyebabnya itu. Salah satu keluarga yang menunggu datangnya maut dengan waswas adalah keluarga Saidun. Sebab, tiga dari enam orang anak Saidun kini sedang terserang wabah yang membuat tubuh anak-anak meriang itu. ''Kalau kami sekeluarga harus mati, apa boleh buat,'' kata Saidun pasrah. Ia mengaku tak mampu membawa anaknya ke dokter. Karena, selain lokasi dokter jauh, ia juga tak punya uang untuk menebus obat. Begitu pula Zaimar, 25 tahun, ibu dari empat anak. Dalam tempo dua minggu, Zaimar telah kehilangan tiga dari empat anaknya tanpa sempat dibawa ke puskesmas. Kini, ibu muda itu mengungsikan anaknya yang masih hidup ke desa lain dengan harapan bisa diselamatkan. Wabah apa sebetulnya yang menyerang Desa Sikilang? Penduduk setempat menyebutnya tapok. Wabah yang membuat tubuh demam dan suhu badan tinggi ini umumnya menyerang anak-anak. Dari 47 korban yang meninggal, 36 orang di antaranya anak-anak di bawah umur 12 tahun. Menurut penduduk, wabah ini mulai dirasakan akhir Februari lalu, setelah Desa Sikilang diguyur hujan lebat beberapa bulan sebelumnya tak tersiram hujan. Tiba-tiba saja, waktu itu, penduduk merasakan badannya panas dingin, lalu mereka terserang gatal-gatal, dan kemudian meriang. Sebagian dari mereka yang terserang wabah juga merasa sesak napas dan batuk kering. Bila suhu badan memuncak, biasanya penderita, terutama anak-anak, tidak tertolong lagi. Begitu terserang wabah, penduduk memang tak langsung berobat ke puskesmas. Soalnya, untuk mencapai puskesmas, mereka butuh waktu empat jam dengan naik perahu motor, dan transportasi itu pun adanya dua kali seminggu. Jika lewat jalan darat, jarak yang harus dicapai itu pun lewat jalan setapak jauhnya 9 kilometer. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman, Dokter Herman, menyesali petugas kesehatan di lapangan yang terlambat memberikan laporan sehingga bantuan baru bisa diberikan sejak 20 April lalu. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, menurut Kepala Kantor Wilayah Kesehatan Sumatera Barat, Dokter Yuslis Katin, 34 dari 47 korban terbukti positif terserang campak yang terkomplikasi dengan ISPA (infeksi saluran pernapasan akut). Apalagi kondisi tubuh penduduk sangat jelek. Mereka kekurangan gizi serta menderita diare dan malaria. Begitu wabah campak menyerang, ISPA pun ikut meningkat: penyakit dengan gejala suhu badan tidak normal, batuk, dan sesak napas. ''Campak itu cuma sebagai pencetus, sedangkan yang merenggut nyawa adalah ISPA,'' kata Dokter Yuslis. Buruknya kondisi penduduk Desa Sikilang tampak tak terlepas dari keadaan lingkungan setempat. Penduduk umumnya masih mandi, mencuci, dan mengambil air minum di kali yang sudah tak bersih. Desa Sikilang, sebagaimana diakui Bupati Taufik Martha, adalah salah satu dari 14 desa miskin di Kabupaten Pasaman. Satu- satunya mata pencaharian penduduk adalah menangkap ikan, dan itu pun hasilnya tak seberapa. Tak jarang, hasil tangkapan mereka tidak cukup untuk ditukar dengan seliter beras pun. Tak mengherankan bila mereka gampang terserang penyakit. Gatot Triyanto dan Fachrul Rasyid

0 komentar:

Posting Komentar

Total pengunjung minggu ini